Selasa, 18 Januari 2011

peranserta masyarakat trhadap lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hokum dan perundangan, tersedianya informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
Sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijabarkan pula bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya,kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.








B.Permasalahan
bagaimana peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup ?
bagai mana pembagian peranserta masyrakat menurut para pakar ?
bagai mana peranserta masyarakat dalam penegakan hukum lingkungan ?
apakah kegunaan peran serta masyarakat ?
bagai manakah peran serta masyarakat dalam uupl di Indonesia ?
bagaimana masyarakat menyikapi pencemaran lingkungan ?


tujuan penulisan
Tujuan umum
   Penulisan makalah ini secara umum bertujuan untuk Mengetahui apa saja yang menjadi peran serta masyarakat dalam menjaga dan mengelola lingkungan hidup
Tujuan khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh bapak dosen pembimbing hukum lingkungan





BAB II
PEMBAHSAN
Peran serta masyarakat

Suatu proses yang melibatkan masyarakat umumnya dikenal sebagai peran serta  masyarakat, yaitu proses komunikasi dua arah yang berlangsung terus-menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat secara penuh atas suatu proses kegiatan, dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa. Begitu luasnya pengertian dan pemahaman peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, sehingga menimbulkan beraneka ragam penafsiran, yang sering kali penafsiran pihak yang kuatlah yang timbul dan mereduksi peran serta yang bermakna (meaningfull participation). Dari sudut terminologi peran serta masyarakat dapat diartikan sebagai suatu cara melakukan interaksi antara dua kelompok; Kelompok yang selama ini tidak diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan (non-elite) dan kelompok yang selama ini melakukan pengambilan keputusan (elite). Banyak yang memandang peran serta masyarakat sematamata sebagai penyampaian informasi (public information), penyuluhan, bahkan sekedar alat public relation agar kegiatan tersebut dapat berjalan tanpa hambatan. Karenanya, peran serta masyarakat tidak saja digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi juga digunakan sebagai tujuan (participation is an end itself).[1]
Dalam peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif antara pihak pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan beserta anggota masyarakat lainnya yang mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberi tahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pembuat keputusan tersebut. Sedang dalam konteks peran serta masyarakat yang bersifat kemitraan, pembuat keputusan dan anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan. Selain itu penyertaan masyarakat akan juga memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta masyarakat juga akan mereduksi kemungkinan penolakan masyarakat untuk menerima keputusan. Pemberian akses atas informasi tentang pengelolaan lingkungan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut Canter (1977), Cormick (1979), Goulet (1989) dan Wingert (1979) merinci peran serta masyarakat sebagai berukut :
Peran Serta Msyarakat sebagai suatu Kebijakan
Penganut paham ini berpendapat bahwa peran serta masyarakat merupakan suatu kebijaksanaan yang tepat dan baik untuk dilaksanakan. Paham ini dilandasi oleh suatu pemahaman bahwa masyarakat yang potensial dikorbankan atau terkorbankan oleh suatu proyek pembangunan memiliki hak untuk dikonsultasikan (right to be consulted).
Peran Serta Masyarakat sebagai Strategi
Penganut paham ini mendalilkan bahwa peran serta masyarakat merupakan strategi untuk mendapatkan dukungan masyarakt (ppublic support). Pendapat ini didasarkan kepada suatu paham bahwa bila masyarakat merasa memiliki akses terhadap pengambilan keputusan dan kepedulian masyarakat kepada pada tiap tingkatan pengambilan keputusan didokumentasikan dengan baik, maka keputusan tersebut akan memiliki kredibilitas.
Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Komunikasi
Peran serta masyarakat didayagunakan sebagai alat untuk mendapatkan masukan berupa informasi dalam proses pengambilan keputusan. Persepsi ini dilandasi oleh suatu pemikiran bahwa pemerintah dirancang untuk melayani masyarakat, sehingga pandangan dan preferensi dari masyarakat tersebut adalah masukan yang bernilai guna mewujudkan keputusan yang responsif.
Peran Serta Masyarakat sebagai Alat Penyelesaian Sengketa
Dalam konteks ini peran serta masyarakat didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik melalui usaha pencapaian konsensus dari pendapat-pendapat yang ada. Asumsi yang melandasi persepsi ini adalah bertukar pikiran dan pandangan dapat menigkatkan pengertian dan toleransi serta mengurangi rasa ketidakpercayaan (misstrust) dan kerancuan (biasess).
Peran Sera Masyarakat sebagai Terapi
Menurut persepsi ini, peran serta masyarakat dilakukan sebagai upaya untuk "mengobati" masalah-masalah psikologis masyarakat seperti halnya perasaan ketidak berdayaan (sense of powerlessness), tidak percaya diri dan perasaan bahwa diri mereka bukan komponen penting dalam masyarakat.

Penegakan Hukum
Dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diharapkan bahwa penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan / atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 ini memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan azas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu penindakan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Dalam pelaksanaan penegakkan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang ini meliputi prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Melalui Peraturan Perundangan ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. pengambil keputusan, peran serta masyarakat juga akan mereduksi kemungkinan penolakan masyarakat untuk menerima keputusan. Pemberian akses atas informasi tentang pengelolaan lingkungan juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Kegunaan Peran Serta Masyarakat
[2]Tujuan dari peran serta masyarakat sejak tahap perencanaan adalah untuk menghasilkan masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan lingkungan (Canter, 1977). Karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak kegiatan dan kelompok kepentingan (interest groups), para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok tersebut dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.
 proses peran serta masyarakat haruslah terbuka untuk umum, peran serta masyarakat akan mempengaruhi kredibilitas (accountability) badan yang bersangkutan. Dengan cara mendokumentasikan perbuatan keputusan badan negara ini, sehingga mampu menyediakan sarana yang memuaskan jika masyarakat dan bahkan pengadilan merasa perlu melakukan pemeriksaan atas pertimbangan yang telah diambil ketika membuat keputusan tersebut. Yang pada akhirnya akan dapat memaksa adanya tanggung jawab dari badan negara tersebut atas kegiatan yang dilakukannya.
Perlunya peran serta msyarakat telah pula diungkapkan oleh Prof.Koesnadi Hardjasoemantri (1990) bahwa selain itu memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan, peran serta masyarakat akan mereduksi kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan. Selanjutnya, peran serta masyarakat akan membantu perlindungan hukum. Bila suatu keputusan akhir diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan, maka akan memperkecil kemungkinan pengajuan perkara ke pengadilan. Karena masih ada alternatif pemecahan yang dapat diambil sebelum sampai pada keputusan akhir.
Terhadap hal di atas, Hardjasoemantri melihat perlu dipenuhinya syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna (1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi Lintas-batas (transfortier information); mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi propinsi atau negara tetangga. Sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting; (3) Informasi tepat waktu (timely information); suatu proses peran serta masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin, sebelum keputusan terakhir diambil. Sehingga, masih ada kesempatan untuk memeprtimbangkan dan mengusulkan altenatif-alternatif pilihan; (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh(comprehensive information); walau isi dari suatu informasi akan berbeda tergantumg keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan, tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegitana secara rinci termasuk alternatif-alternatif lain yang dapat diambil (5) Informasi yang dapat dipahami (comprehensive information); seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Metode yang sering digunakan adalah kewajiban untuk membuat uraian singkat atas kegiatan yang dilakukan.
Syarat lain yang dapat ditambahkan selain yang telah diuraikan diatas, adalah keharusan adanya kepastian dan upaya terus-menerus untuk memasok informasi agar penerima informasi dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi pemberi informasi.
Mas Achmad Santosa (1990) dalam thesisnya telah pula merangkum kegunaan peran serta masyarakat antara lain:
Menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab;
Kesempatan untuk berperan serta dalam kegiatan publik, akan memaksa orang yang bersangkutan untuk membuka cakrawala pikirannya dan mempertimbangkan kepentingan publik (Mill 1990). Sehingga orang tersebut tidak semata-mata memikirkan kepentingannya sendiri, tetapi akan lebih memiliki sifat bertanggung jawab dengan mempertimbangkan kepentingan bersama.
Meningkatkan proses belajar[3]
Pengalaman berperan serta secara psikologis akan memberikan seseorang kepercayaan yang lebih baik untuk berperan serta lebih jauh.
Mengeliminir perasaan terasing
Dengan turut aktifnya berperan serta dalam suatu kegiatan, seseorang tidak akan merasa terasing. Karena dengan berperan serta akan meningkatkan perasaan dalam seseorang bahwa ia merupakan bagian dari masyarakat.
Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah
Ketika seseorang langsung terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang akan mempengaruhi kehidupannya, mereka cenderung akan mempunyai kepercayaan dan menerima hasil akhir dari keputusan itu. Jadi, program peran serta masyarakat menambah legitimasi dan kredibilitas dari proses perencanaan kebijakan publik. Serta menambah kepercayaan publik atas proses politik yang dijalankan para pengambil keputusan.
Menciptakan kesadaran politik
John Stuart Mill (1963) berpendapat bahwa peran serta pada tingkat lokal, dimana pendidikan nyata dari peran serta terjadi, seseorang akan "belajar demokrasi". Ia mencatat bahwa orang tidaklah belajar membaca atau menulis dengan kata-kata semata, tetapi dengan melakukannya. Jadi, hanya dengan terus berpraktek pemerintahan dalam skala kecil akan membuat masyarakat belajar bagaimana mempraktekkannya dalam lingkup yang lebih besar lagi.
Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat;
Menurut Verba dan Nie (1972) bahw amelalui peran serta masyarakat distribusi yang lebih adil atas keuntungan pembangunan akan didapat, karena rentang kepentingan yang luas tercakup dalam proses pengambilan keputusan.
Menjadi sumber dari informasi yang berguna;
Masyarakat sekitar, dalam keadaan tertentu akan menjadi "pakar" yang baik karena belajar dari pengalaman atau karena pengetahuan yang didapatnya dari kegiatan sehari-hari. Keunikan dari peran serta adalah masyarakat dapat mewakili pengetahuan lokal yang berharga yang belum tentu dimiliki oleh pakar lainnya, sehingga pengetahuan itu haruslah termuat dalam proses pembuatan keputusan.
Merupakan komitmen sistem demokrasi;
Program peran serta msyarakat membuka kemungkinan meningkatnya akses masyarakat ke dalam proses pembuatan keputusan (Devitt, 1974).
Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Perundang-undangan Lingkungan di Indonesia
Rahardjo (1989) melihat pemerintah merupakan agen utam dalam segenap kegiatan masyarakat, termasuk pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti pemerintahlah yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu. Dalam konteks ini, sinyalemen diatas menjadi nyata, ketika pada akhirnya peran serta masyarakat hanyalah merupakan proses tarik-menarik antara pemerintah dan pihak masyarakat. Dimana masyarakat hanyalah mampu untuk mencari ruang gerak peran serta masyarakat yang telah 'diciptakan' pemerintah. Sejalan dengan hal diatas, berikut akan dicoba digali ruang gerak peran serta masyarakat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan yang ada di Indonesia.
A. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (PP.AMDAL)
[4]Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 (PP.29/1989) tentang Amdal maupun PP.51/1993 yang menggantikannya mengharuskan setiap (rencana) kegiatan yang diperkirakan mempunyai dampak dilengkapi Amdal. Dalam peraturan yang sama, Amdal dijabarkan sebagai "hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan".Bapedal (Badab Pengendalian Dampak Lingkungan), badan pemerintah yang bertanggung jawab melakukan koordinasi proses Amdal, menjabarkan Amdal sebagai "proses kajian yang terpadu untuk mengkoordinasi perencanaan dan kajian dari kegiatan pembangunan yang diusulkan, khususnya komponen ekologi, sosio-ekonomi dan budaya, sebagai pelengkap kelayakan teknis dan ekonomis "sedangkan Otto Soemarwoto (1991) membatasi sebagai" alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktivitas pembangunan yang sedang direncanakan".
Peraturan Pemerintah yang terbentuk berdasarkan ketentuan pasal 16 UUPLH ini, menetapkan proses Amdal yang melibatkan beberapa aktor, seperti Pemrakarsa dan Komisi Amdal. Pemrakarsa adalah mereka yang mengajukan atau bertanggung jawab atas suatu rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, sedang Komisi Amdal yang dibentuk oleh Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) atau Gubernur, berfungsi sebagai penilai dokumen Amdal yang diajukan oleh Pemrakarsa.
Peran Serta Masyarakat dalam Komisi
Hadirnya, para pakar, wakil Pusat Studi lingkungan (PSL) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam komisi dipercayai sebagai cermin kesertaan masyarakat. Dan LSM, karena gaya kerja grass-root-nya diasumsikan cukup handal untuk "mendampingi" masyrakat korban dampak lingkungan. Kombinasi berbagai kekuatan diatas, dharapkan membawa wawasan baru dalam keputusan Komisi.
Skenario diatas mestinya sangat logis dan tak perlu diperdebatkan. Hanya saja, bila dicermati mekanisme Komisi terkesan sangat elitis; dan karenanya kaum awam diluar Komisi hampir tak punya peluang untuk mempersoalkan keputusan-keputusan Komisi. Posisi minoritas dan keanggotaan yang bersifat tidak tetap dari wakil LSM dan masyarakat korban, semakin menempatkan keikutsrtaan masyarakat dalam posisi yang bersifat diperdebatkan. Kedudukan sebagai minoritas secara hipotesis akan menyurutkan daya tekan mereka dalam pengambilan keputusan. Keadaan ini semakin diperparah oleh rendahnya derajat pemahaman terhadap masalah lingkungan. LSM, sialnya, dipandang punya kapasitas untuk memahami masalah yang ada, sementara realitas menunjukkan hal sebaliknya:hanya sedikit manusia pada segelintir LSM yang punya pengetahuan dan kepedulian tentang lingkungan. Secara umum, ada keengganan LSM, atau boleh jadi ketidakmampuan, untuk sedikit peduli dan menekuni Amdal sebagai alternatif cara peningkatan keikutsertaan masyarakat. Sejumlah kasus mengkonfirmasi bahwa LSM cenderung menempuh "jalan lain" dalam gerakan penyadaran lingkungan ketimbang menggarap perannya dalam Komisi Amdal secara lebih serius. Penunututan ke Pengadilan (kasus Walhi vs. PT.IIU), boikot (kasus Tapak - Semarang), kombinasi tekanan LSM nasional dan internasional (kasus Scott Paper di Irian Jaya) dan melobi ke negara-negara donor (kasus Kedungombo - Jawa Tengah) sekedar contoh soal yang masih segar dalam ingatan kita.
Pasal 31 PP.29/1986 (sekarang Pasal 22 PP.51/1993)
[5]Disamping kesertaan wakil LSM dan masyarakat korban dalam Komisi Amdal, pasal 22 PP.Amdal mewajibkan keterbukaan informasi bagi masyarakat luas sebagai media untuk menyertakan masyarakat dalam proses Amdal. Dan ini, menurut penjelasan pasal 22 ayat (1), dapat dilakukan berwujud penyebaran dokumen Amdal melalui media masa atau papan pengumuman pada instansi yang bertanggung jawab. Ini berarti, masyarakat memiliki akses yang luas ke semua aspek Amdal. Dan mestinya orang boleh bersyukur. Tapi pengalam lapangan kadang berbicara lain. Kasus gugatan Walhi atas PT.Imti Indorayon Utama (pengolah pulp dan rayon) dan lima instansi pemerintah (digugat lalai memberi ijin kepada PT.IIU yang berakibat rusaknya lingkungan) membuktikan betapa pasal 31 PP. Amdal sedemikian bermakna ganda, tergantung bagaimana ia ditafsirkan. Konon kata Walhi, ia tidak diberi kesempatan ikut serta berdasarkan pasal 31 itu, walau para penggugat telah dimintai dokumen-dokumen yang berhubungan dengan Amdal. Hanya saja hakim punya pendapat lain:memang pasal 31 mengandung prinsip keterbukaan untuk umum seperti didalilkan Walhi, tapi pelaksanaannya harus dikaitkan dengan prosedur dalam ayat (3)-nya. Ini berarti, harus mewabah sebagai peran serta masyarakat dengan bentuk yang sudah baku : memberikan saran/pikiran, baik lisan atau tertulis, dengan Komisi Pusat atau Komisi Daerah sebagai sasaran. Akhir cerita, bukti yang diajukan Walhi (berupa surat permohonan dokumen Amdal dan sejenisnya pada tergugat) gagal memenuhi makna pasal 31 seperti dimengerti oleh Hakim. Surat Walhi, rupanya tidak ditujukan pada Komisi (Pusat atau Daerah), dan fatalnya, surat-surat yang ada tidak memuat saran atau pikiran Walhi. Dan sudah pasti, persoalan lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat sama sekali alpa dalam perdebatan yang ada.
Ketika PP.29/1986 diganti dengan PP.51/1993, ketentuan tentang Peran Serta Masyarakat yang termuat dalam pasal 31 PP.29/1986, sama sekali tidak mengalami perubahan dalam PP.51/1993, yang termuat dalam pasal 22-nya. Hal ini menandakan bahwa penafsiran peran serta masyarakat dalam PP.Amdal berdasarkan PP.51/1993 akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya di PP.29/1986.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
Seperti juga PP.51/1993, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UUK) merupakan penjabaran dari pasal 12 UUPLH No.4/1982. Kalaupun ada rentang waktu delapan tahun sejak berlakunya UUPLH sampai dindangkannya UUK, setidak-tidaknya kehadiran UUK haruslah tetap disyukuri karena menunjukkan kepedulian pemerintah akan pentingnya perlindungan atas kekayaan bangsa ini.
Keberadaan UU ini mencabut empat ketentuan perlindungan sumber daya alam hayati warisan kolonial. Yang memang merupakan salah satu pertimbangan dibuatnya UUK, karena peraturan warisan kolonial itu dianggap masih bersifat parsial yang tidak selaras dengan semangat UUPLH yaitu pengelolaan lingkungan yang bersifat satu-kesatuan (integral) dan menyeluruh (comprehensive). Ke-empat undang-undang ini adalah : (1) Ordonansi Perburuan (Jachordonanntie 1931 Staatblad 1931 Nummer 133);(2) Ordonansi Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierensbeschermingordonnantie 1931 Staatblad 1931 Nummer 134);(3) Ordonansi Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonnantie Java en Madoera 1940 Staatblad 1939 Nummer 733); dan (4) Ordonansi Perlindungan Alam (Natuurbeschermingsordonnantie 1941 Staatsblad 1941 Nummer 167).
Undang-undang No.5/1990 memakai istilah peranserta rakyat untuk mengartikan peran serta masyarakat yang dipakai dalam buku ini. Rumusan diatas termuat dalam pasal 37 bahwa :(1)Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna;dan(2) dalam mengembangkan peran serta masyarakat, pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dikalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Ketika mekanisme peran serta rakyat diatas masih harus menunggu rumusan lebih lanjut berdasarkan pasal 37 ayat 3, dapatlah disimpulkan rumusan diatas mengabaikan kemampuan masyarakat lokal yang kemungkinan mempunyai keahlian unik yang belum tentu dimiliki oleh guru besar suatu universitas sekalipun. Salah satu nilai positif dari peran serta masyarakat adalah pengakuan adanya kebijaksanaan tradisional dari masyarakat lokal untuk mengelola lingkungannya. Ini tidak didapat dari bangku universitas maupun seminar, tetapi pengetahuan yang diterima dari pengalaman hidup dan kegiatan sehari-hari. Rumusan pasal 37(2) mengesankan masyarakat begitu awam sehingga haruslah diberi pendidikan dan penyuluhan. Lebih jauh, apa yang termuat dalam pasal 24 UUK dapat membuat arti peran serta menjadi mobilisasi. Artinya, pemerintahlah yang menentukan tujuan dan perencanaan kegiatan, sementara masyarakat hanya diperintahkan untuk mengikuti program-program yang digariskan pemerintah. Rumusan ini juga menurunkan kadar peran serta yang termuat dalam pasal 6 UUPLH, undang-undang yang seharusnya menjadi panutan bagi Uuk. Jelas, UUPLH menggariskan bahwa peran serta masyarakat itu dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai tahap evaluasi, tetapi makna diatas menjadi kabur dalam UUK.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR)
Apa itu Penataan Ruang
[6]Menurut pasal 1 ayat 3 UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Adapun tujuan dari penataan ruang dalam konteks hukum positif Indonesia meliputi tiga hal (lihat pasal 3 UU.24/1992) :
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan    nusantara
2. Terselenggaranya pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk :
·         Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera
·         Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia
·         Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
·         Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan
·         Mewujudkan keseimbangan kepentingan kepentingan kesejahteraan dan keamanan

Menyikapi Pencemaran Lingkungan

Konferensi PBB tentang lingkungan Hidup di Stockholm pada tahun 1972, telah menetapkan tanggal 5 Juni setiap tahunnya untuk diperingati sebagai Hari lingkungan Hidup Sedunia. Kesepakatan ini berlangsung didorong oleh kerisauan akibat tingkat kerusakan lingkungan yang sudah sangat memprihatinkan.
Di Indonesia perhatian tentang lingkungan hidup telah dilakukan sejak tahun 1960-an. Tonggak pertama sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup dipancangkan melalui seminar tentang Pengelolaan lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional yang diselenggarakan di Universitas Padjajaran pada tanggal 15 - 18 Mei 1972. Hasil yang dapat diperoleh dari pertemuan itu yaitu terkonsepnya pengertian umum permasalahan lingkungan hidup di Indonesia. Dalam hal ini, perhatian terhadap perubahan iklim, kejadian geologi yang bersifat mengancam kepunahan makhluk hidup dapat digunakan sebagai petunjuk munculnya permasalahan lingkungan hidup.
Pada saat itu, pencemaran oleh industri dan limbah rumah tangga belumlah dipermasalahkan secara khusus kecuali di kota-kota besar. Saat ini, masalah lingkungan hidup tidak hanya berhubungan dengan gejala-gejala perubahan alam yang sifatnya evolusioner, tetapi juga menyangkut pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah industri dan keluarga yang menghasilkan berbagai rupa barang dan jasa sebagai pendorong kemajuan pembangunan di berbagai bidang.
Pada Pelita V, berbagai upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup dilakukan dengan memperkuat sanksi dan memperluas jangkauan peraturan-peraturan tentang pencemaran lingkungan hidup, dengan lahirnya Keppres 77/1994 tentang Organisasi Bapedal sebagai acuan bagi pembentukan Bapeda/Wilayah di tingkat Propinsi, yang juga bermanfaat bagi arah pembentukan Bapeda/Daerah. Peraturan ini dikeluarkan untuk memperkuat Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dianggap perlu untuk diperbaharui.
Berdasarkan Strategi Penanganan Limbah tahun 1993/1994, yang ditetapkan oleh pemerintah, maka proses pengolahan akhir buangan sudah harus dimulai pada tahap pemilihan bahan baku, proses produksi, hingga pengolahan akhir limbah buangan (Lampiran Pidato Presiden RI, 1994 : II/27). Langkah yang ditempuh untuk mendukung kebijaksanaan ini, ditempuh dengan pembangunan Pusat Pengelolaan Limbah Industri Bahan Berbahaya dan Beracun (PPLI-B3), di Cileungsi Jawa Barat, yang pertama di Indonesia. Pendirian unit pengolahan limbah ini juga diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1994 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Disamping itu, untuk mengembangkan tanggung jawab bersama dalam menanggulangi masalah pencemaran sungai terutama dalam upaya peningkatan kualitas air, dilaksanakan Program Kali Bersih (PROKASIH), yang memprioritaskan penanganan lingkungan pada 33 sungai di 13 Propinsi. Upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup ini, ternyata juga menghasilkan lapangan kerja dan kesempatan berusaha baru di berbagai kota dan sektor pembangunan.
Dari uraian tersebut diatas jelaslah bagi kita bahwa dalam menyikapi terjadinya pencemaran lingkungan baik akibat teknologi, perubahan lingkungan, industri dan upaya-upaya yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi, diperlukan itikad yang luhur dalam tindakan dan perilaku setiap orang yang peduli akan kelestarian lingkungan hidupnya.
Walaupun telah ditetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982, PP No. 19 tahun 1994 dan Keppres No .7 tahun 1994 yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan, jika tidak ada kesamaan persepsi dan kesadaran dalam pengelolaan lingkungan hidup maka berbagai upaya pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat tidak akan dapat dinikmati secara tenang dan aman, karena kekhawatiran akan bencana dari dampak negatif pencemaran lingkungan.
HAK MASYARAKAT DALAM PPLH
• Lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian HAM;
• Pendidikan LH, akses informasi, partisipasi dan keadilan;
• Mengusulkan keberatan atas rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak LH;
• Berperan dalam PPLH sesuai dengan per-UU;
• Melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
• Bebas dari tuntutan pidana maupun perdata atas perjuangan akan haknya menyangkut lingkungan hidup yang sehat dan baik.

KEWAJIBAN MASYARAKAT DALAM PPLH
·         Memelihara kelestarian fungsi LH serta pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan LH;
·         Setiap orang yang melakukan usaha/kegiatan berkewajiban :
1.      Memberikan informasi terkait dengan PPLH secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu
2.      Menjaga keberlanjutan fungsi LH;
3.      Mentaati ketentuan baku mutu LHdan/atau criteria baku kerusakan LH.
LARANGAN MASYARAKAT DALAM PPLH
1.      Melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan LH;
2.      Memasukan B3 yang dilarangan menurut per-UU dalam wilayah NKRI;
3.      Memasukan limbah yang berasal dari luar NKRI ke dalam media LH NKRI;
4.      Membuang limbah ke media LH(termasuk B3 dan limbahB3);
5.      Melepaskan produk rekayasa genetik ke media LH yang bertentangan dengan per-UU/izin lingkungan;
6.      Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
7.      Menyusun AMDAL tanpa sertifikasi kompetensi penyusun AMDAL;
8.      Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkannya informasi, merusak informasi, dan memberikan keterangan yang tidak benar.
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PPLH
• Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama berperan aktif dalam PPLH
• Peran masyarakat :
·         Pengawasan sosial;
·         Memberi saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;
·         Penyampaian informasi dan/atau pelaporan;
·         Peran masyarakat dilakukan untuk :
o   Meningkatkan kepedulian dalam PPLH;
o   Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan;
o   Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan;
o   Menumbuh kembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
o   Mengembangan dan menjaga budaya dan kearifan local dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
PERAN MASYARAKAT DALAM PENERAPAN INSTRUMEN LINGKUNGAN
• AMDAL
Dokumen AMDAL disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat melalui prinsip pemberian informasi yang transparan dan lengkap sebelum kegiatan dilaksanakan;Masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL
PERAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM
“Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
ORGANISASI LINGKUNGAN HIDUP
Berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi LH;
 Pengajuan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil;
 Syarat : berbentuk badan hukum, organisasi berorientasi pada pelestarian fungsi LH, berpengalaman sedikitnya 2 tahun)


BAB III
kesimpulan
Dari uraian isi makalah ini dapat kami simpulkan bahwa yang menjadi peran serta masyarakat dalam pengelolaaan dan perlindungan lingkungan ditinjau dari UU no.32 tahun 2009 adalah:
ü  Pengawasan sosial;
ü  Memberi saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan;
ü  Penyampaian informasi dan/atau pelaporan;
ü  Peran masyarakat dilakukan untuk :
·         Meningkatkan kepedulian dalam PPLH;
·         Meningkatkan kemandirian, keberdayaan dan kemitraan;
·         Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan;
·         Menumbuh kembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
·         Mengembangan dan menjaga budaya dan kearifan local dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Serta yang menjadi larangan masyrakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hudup adalah:
Ø  Melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran dan kerusakan LH;
Ø  Memasukan B3 yang dilarangan menurut per-UU dalam wilayah NKRI;
Ø  Memasukan limbah yang berasal dari luar NKRI ke dalam media LH NKRI;
Ø  Memasukan limbah B3 ke dalam NKRI;
Ø  Membuang limbah ke media LH(termasuk B3 dan limbahB3);
Ø  Melepaskan produk rekayasa genetik ke media LH yang bertentangan dengan per-UU/izin lingkungan;
Ø  Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
Ø  Menyusun AMDAL tanpa sertifikasi kompetensi penyusun AMDAL, Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkannya informasi, merusak informasi, dan memberikan keterangan yang tidak benar.
Daftar pustaka

Marpaung, Leden. 1997. Tindak pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika: Jakarta.
Soemartono R.M. Gatot P. 1996. Hukum lingkungan Indonesia. Sinar Garafika: Jakarta.
Soemartono R.M. Gatot P. 1991. Mengenal hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.
Sunarso,Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta: Jakarta.
Daud,Silalahi M. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. PT. Alumni: Bandung.
Hardjasoemantri,Koesnadi. 2005. Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University press:Yogyakarta.



[1] Marpaung, Leden. 1997. Tindak pidana Lingkungan Hidup dan Masalah Prevensinya. Sinar Grafika: Jakarta
[2] Soemartono R.M. Gatot P. 1996. Hukum lingkungan Indonesia. Sinar Garafika: Jakarta.
[3] Sunarso,Siswanto. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Rineka Cipta: Jakarta.

[4] Daud,Silalahi M. 2001. Hukum Lingkungan dalam Sistem penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. PT. Alumni: Bandung.

[5] Hardjasoemantri,Koesnadi. 2005. Hukum Tata Lingkungan. Gajah Mada University press:Yogyakarta.

[6] Soemartono R.M. Gatot P. 1991. Mengenal hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar