Selasa, 18 Januari 2011

corak masyarakat adat

CORAK-CORAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
A.   PENGANTAR
Beberapa pengartian hokum adat yang diberikan oleh para sarjana hokum adalah sebagai berikut :
a.       Prof. Dr. Soepomo, SH

Hokum adat sebagai hokum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun yidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum. 

b.      Dr.Soekanto
Hukum adaty sebagai kompleks adat – adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hokum.
Sifat Hukum Adat
Para pengamat hukum adat dari kalangan pengetahuan hukum di Barat,melihat hukum adat bersifat konkret, supel dan dinamis.
  1. Konkret
            Sebagaimana kita sebut di atas, hukum adat sangat memperhatikan setiap persoalan yang dihadapkan kepadanya secara khusus dengan pendirian bahwa setiap soal tidak sama dengan soal yang lainnya sekalipun serupa. Setiap soal perlu mendapat perlakuan yang khusus sesuai dengan individualitasnya tersebut. Pengaturannya tidak dibuat secara apriori, akan tetapi selalu situasional dan individual. Dalam wawasan hukum adat tidak ada soal yang serupa dan sama. Setiap soal selalu menuntut perlakuan yang tersendiri secara khusus dan tidak atas dasar aturan yang umum dan abstrak.
            Karena itu hukum adat juga memerlukan bahan-bahan yang empiris nyata yang memudahkan mengerjakannya dengan baik, cepat dan sesuai. Untuk ini maka setiap soal hukum adat diarahkan telebih dulu kepada penemuan kelembaganya dengan mempergunakan bahan – bahan nyata yang tersedia dan bersangkutan dengan soalnya.
  1. Supel :
Hukum adat dalam dirinyaa dibangun dengan asas-asas pokok saja. Soal – soal yang yang detail diserahkan kepada pengolahan asas-asas pokok itu dengan memperhatikan situasi kondisi dan waktu yang dihadapi.
Dalam kerangka tujuan ini di dalam hukum adat dipertahankan suatu suasana di mana setaip konflik memperoleh penyelesaian yang tuntas yaitu : suatu penyelesaian menyeluruh yang menjawab segala aspek yang ada dan yang mungkin di kemudian hari ada; tidak dapat ada lagi soal tambahan dikemudian hari.
  1. Dinamis
Hukum adat pada prinsipnya adalah hokum rakyat. Tidak ada suatu badan pembuatnya yan secara pasti ditetapkan untuk membuat peraturan baru pada setiap ada perubahan keadaan dan perubahan keadaan hokum. Sebagai hokum rakyat yang mengatur kehidupan yang terus menerus berubah dan berkembang pembuatnya adalah rakyat sendiri. Hokum adat karena itu menjalani perubahan-perubahan yang terus menerus melalui keputusan-keputusan atau penyelesaian-penyelesaian yang dikeluarkan oleh masyarakat sebagai hasil temu rasa dan temu piikir melalui permusyawaratan. Dalam hal itu setiap perkembangan yang terjadi selalu diusahakan mendapat tempatnya di dalam tata hokum adat. Hal-hal yang lama yang tidak  lagi dapat dipergunakan atau dipakai, secara tidak mencolok diubah atau ditinggalkan.
B.    PEMBAHASAN
1.      CORAK HUKUM ADAT
Soepomo mengatakan: Corak atau pola-pola tertentu di dalam hukum adat yang merupakan perwujudkan dari struktur kejiwaan dan cara berfikir yang tertentu oleh karena itu unsur-unsur hukum adat adalah:
1.      Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya , menusia menurut hukum adat , merupakan makluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2.      Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3.      Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang kongkret. Sistem hukum adat mempergunakan hubungan-hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup.
4.      Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya- hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat (atau tanda yang tampak).
Moch Koesnoe mengemukakan corak hukum adat :
1.      Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan dimaksud;
2.      Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
3.      Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok . Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup bersama;
4.      Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
Hilman Hadikusuma mengemukakan corak hukum adat adalah:
Ø  Tradisional; artinya bersifat turun menurun, dari nenek moyang hingga zaman sekarang keadaanya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.
Ø  Keagamaan (Magis-religeius); artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib / magis (animisme-dinamisme; kepercayaan terhadap roh-roh halus dan roh-roh nenek moyang; kepercayaan terhadap Tuhan).
Terlihat pada adanya upacara-upacara adat yang lazim diadakan sesajen-sesajen yang ditujukan pada roh-roh leluhur yang ingin diminta restu atau pertolongan [Soerojo 1979].
Ø  Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Dalam konsep pemikiran hokum adat, indivoidu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, dan fungsi dari masing-masing individu adalah dipandang untuk melangsungkan fungsi dan kelangsungan masyarakat. (M. Koesnoe)
Ø  Kongkrit / Visual;
Konkrit = → Jelas, nyata, berwujud.
→ Satunya perkataan dan perbuatan (perbuatan itu benar-benar merupakan  realisasi dari perkataan). (Soerojo 1979).
Contoh: jual-beli → pembayaran harga dan penyerahan barang, dilakukan pada saat yang sama (sifat terang dan tunai).
Visual = → Dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi.
→ Pemberian tanda-tanda yang kelihatan untuk bukti penegasan atau       penuduhan dari apa yang akan atau telah dilakukan. (Soerojo 1979).
Contoh: Panjer, peningset.
Ø  Terbuka dan Sederhana;
Tebuka → selalu menerima unsur-unsur dari luar, namun yang sesuai atau setelah      disesuaikan dengan jiwa hokum adat itu sendiri.
Sederhana → tidak rumit, tidak administrative, kebanyakan tidak tertulis, muda dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai. (Hilman 1992).
Ø  Dapat berubah dan Menyesuaikan; artinya hokum adat bersifat dinamis / tidak statis. Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh berkembang seperti hidup itu sendiri. (Soepomo 1996)
Ø  Tidak dikodifikasi; artinya hokum adat sebagian besar tidak tertulis (non statutair)
Ø  Musyawarah dan Mufakat; artinya untuk memulai dan mengakhiri pekerjaan. Sebagai sarana penyelesaian perselisihan / sengketa → berdasarkan asas rukun. [M. koesnoe]. → Dilakukan secara rukun dan damai serta saling memaafkan.
Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan kultur dan corak masyaraktnya. Oleh karena itu pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh bilamana tentang ajaran-ajaran Hukum adat yang menjadi jiwanya. Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata berkias yang mendalam serta yang hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan diceritakan dari mulut kemulut sepanjanng generasi yang terus berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang dituangkan kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan prinsip-prinsip hhukum adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
Corak pertama hokum adat adalah pandangannya adalah segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu kias saja. Dari itu menjadi tugas bagi kalangan yang menjalankan hokum adat untuk banyak mempunyai pengetahuan dan berbagai kemungkinan arti kiasan yang dimaksud.
Dalam hubungannya dengan ini maka hokum adat pada masa silam lebih menyukai bretuk tidak tertulis. Karena apa yang tertulis, sebagai bentuk suatu rumusan, dapat mudah menimbulkan salah sangka. Namun begitu,hokum adat tidak menolak segala bentuk symbol untuk menyatakan ajaran adat baik bentuk tertulis maupun bentuk tidak tertulis.
Corak kedua dari hokum adat ialah bahwa masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya. Artinya bahwa dalam hokum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok sebagai suatu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak mungkin hidup menyendiri tanpa terkait dalam persenyawaan citarasa akal budinya dan keadaan.
Disitu hokum adat memperhatikan primair kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang meliputi : kelanjutan hidup dan eksistensinya yang bersifat lahir dan batin seperti cinta, benci, puji, dendam, dan sebagainya yang terdapat hidup bersama anatara para individu yang menjadi warganya.
Bagi hukum adat yang dipandang secara pokok bukan seseorang individu dalam persoalan hak-haknya, tetapi eksistensi yang sejahtera yang meliputi keseluruhan. Karena keseluruhan yang sejahtera membawa individu yang menjadi warganya juga sejahtera.
Corak ketiga ialah hokum adat lebih mengutamakan bekerja dengan asas-asas pokok saja. Lembaga-lembaga hokum adat diisi menurut tuntutan waktu, tempat dan keadaan di mana segalanya diukur dengan asas pokok yaitu kerukunan, kepatutan dan kelarasan dalam hidup bersama.
Corak keempat ialah pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas hokum adat untuk melaksanakan hokum adat. Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi watak ketiga, yang hanya mencukupkan diri dengan asas-asas pokok dan kerangka kelembagaannya saja. Dari itu perinciaannya menuntut keahlian, kejujuran dan wawasan kebijaksanaan yang memadai untuk menjadi petugas hukum adat.
Di sini pula kekhususan hukum adat mengenai kedudukan petugas hukumnya. Dengan kepercayaan yang begitu besar untuk menggarap asas-asas pokok itu maka terhadap soal diri pribadi petugas hukum. Hukum adat menuntut terbuktinya dalam kenyataan dan pengalaman tentang dipenuhinya persyaratan kecakapan, kejujuran dan kesusilaan serta kepemimpinan yang tinggi dari seseorang untuk dapat menjadi petugas hokum adat.
Perbandingan system hokum adat dan system hokum barat (CIVIL LAW SISTEM)
Civil Law Sistem
Sistem Hukum Adat
·      Statutary Law.
·      Unsttutary Law.
·      Mengenal zakelike rechten dan persoonlinke rechten.
·      Tidak mengenal pembagian hak sebagaimana demikian.
·      Mengenal dikotomi pembidangan hokum: hokum public dan hokum privat.
·      Tidak mengenal pembidangan hokum.
·      Menggolongkan pelanggaran hokum ke dalam pelanggaran pidana dan perdata.
·      Tidak mengenal penggolongan pelanggaran sebagaimana demikian.
·      Sanksi dalam hokum berfungsi sebagai alat pemaksa.
·   Sanksi bukan sebagai alat pemaksa, tetapi sebagai upaya untuk mengembalikan keseimbangan kosmis.

Sebab-sebab adanya perbedaan tersebut (Soerojo 1979):
1.   Corak yang berlainan antara hokum adat dan hokum barat.
2.   Pandangan hidup / jiwa (Von Savigny = volksgeist) yang berlainan di antara kedua system hokum di atas.
§ Dunia barat → liberalis-rasionalistis
§ Dunia timur → bersifat kosmis, tidak ada perbedaan antara tata dunia lahir dan gaib. Dunia manusia berhubungan dengan segala hidup di alam yang saling bersangkut-paut, pengaruh-mempengaruhi.


2.      CORAK-CORAK MASYARAKAT HUKUM ADAT
Setiap daerah memiliki hukum adat masing-masing. Di antaranya hokum adat daerah NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Bali.

A.      PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
1. Kewilayahan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang secara khusus mengatur kewilayahan Masyarakat hukum adat sampai saat ini belum ada. Namun demikian, secara informal pemerintah provinsi maupun kabupaten memberikan pengakuan terhadap wilayah dimana Masyarakat hukum adat mengatur pemerintahannya. Selain itu Pemerintah Daerah juga mengakui adanya wilayah yang dikuasai secara kolektif oleh Masyarakat hukum adat yang dikenal dengan tanah ulayat.
2. Kebudayaan
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang dikenal dengan sebutan serambi Makkah, telah menerapkan aturan-aturan hukum Islam bagi warga masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi NAD tahun 2007 – 20012 pada butir 1 ditegaskan, bahwa ”.....lembaga keagamaan harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-msing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang.”

Organisasi sosial dan perkumpulan sosial serta perkumpulan adat berkembang dengan baik. Pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”. Kemudian pada ayat 1 menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian lebih secara seksama dan mendukung upayaupaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh.
Di dalam RPJM Provinsi NAD di bidang ekonomi pada butir 3) ditegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian serius pada pengembangan ekonomi kerakyatan untuk mencapai keadilan di bidang ekonomi. Kemudian di bidang sumber daya alam pada butir 2) ditegaskan, bahwa ”.... jika HPH hanya memberikan kepada pengusaha, maka di masa mendatang, Pemerintah Aceh akan menciptakan sistem pengelolaan hutan yang dikelola sendiri oleh rakyat secara lestari, berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri”. Kemudian berkenaan dengan komunikasi dan seni budaya, pada ayat 1 juga menegaskan, bahwa Pemerintah Aceh akan memberikan perhatian secara seksama dan mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan adat istiadat dan budaya Aceh. Antara lain mendorong rakyat untuk menghidupkan kembalai tata cara sopan santun ke-Aceh-an dalam keluarga, dan menyelanggarakan secara reguler festival dan seni Aceh.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Implementasi pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat dari Pemerintah Daerah secara yuridis (Perda) belum ada. Pengakuan ditemukan secara tertulis pada ayat 3 dari RPJM Provinsi NAD ditegaskan, bahwa : ”.......lembaga adat harus menjalankan kegiatannya berdasarkan fungsi masing-masing dan tidak boleh ada tumpang tindih dalam hal fungsi dan wewenang”.
b. Kendala
Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya.

4. Harapan
Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
B.  PROVINSI SUMATERA UTARA
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Pengakuan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten se-Provinsi Sumatera Utara terhadap Masyarakat hukum adat, yaitu adanya pengakuan terhadap hak atas wilayah (lahan) secara kolektif bagi Masyarakat hokum adat yang disebut dengan tanah ulayat dengan hak-hak masyarakat untuk mengelolanya. Namun demikian pengakuan ini belum secara tertulis dalam bentuk Peraturan Daerah atau sejenisnya, sehingga pengakuan tersebut belum memiliki kekuatan yuridis.
b. Kebudayaan
Dalam upaya meningkatkan keberdayaan masyarakat, Gubernur Sumatera Utara pada tahun 2007 mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2007 tentang Strategi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Peraturan Gubernur tersebut kemudian disusul dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur Nomor 37 tahun 2007 tentang Rencana Aksi Daerah dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Sementara itu, persoalan tanah yang melibatkan masyarakat dengan pemerintah terus terjadi. Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Mendagri dan DPR RI yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu (PTPN II) adalah tanah ulayat mereka. Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112

Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615 tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat secara empiris masih ada di Provinsi Sumatera  Utara. Mereka mengelola kelembagaan adat dengan hak-hak atas lahan yang penguasaannya secara kolektif, yang disebut dengan tanah ulayat. Sawah dan ladang pada umumnya tanah pribadi, sedangkan tanah ulayat berupa hutan atau perbukitan. Namun demikian tanah ulayat tersebut banyak yang dikuasi oleh pemerintah (BUMN – PTPN II), sehingga seringkali menimbulkan permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah.
b. Kebudayaan
Kajian tentang adat dilakukan di Kabupaten Mandailing Natal. Struktur kelembagaan adat di sini memiliki peranan yang sangat penting dalam setiap pengambilan keputusan masyarakat. Di dalam kelembagaan adat tersebut ada kepemimpinan adat (informal) yang lebih dominan dibandingkan dengan kepemimpinan desa. Kepemimpinan adat ini dikenal dengan Nini-Mama.
Kalau pemerintah desa melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan, maka tugas dari kepemimpinan adat adalah mengelola kegiatan yang berkaitan dengan adat seperti pada upacara perkawinan, dan pemberian sanksi adat bagi warga masyarakat yang melanggar normanorma adat.
Dalam praktiknya, kedua lembaga pemerintahan ini cukup baik, dalam arti tidak pernah terjadi konflik kepentingan selama menjalankan pemerintahan masing-masing. Sistem kekerabatan menganut garis keturunan dari ibu atau matrilineal. Artinya, pihak perempuan sebagai penentu dalam membentuk hubungan kekerabatan. Namun demikian pihak laki-laki dapat juga sebagai pencipta hubungan karena sebab perkawinan (afinity relationship). Dalam sistem kekerabatan ini dikenal adanya istilah semendo, yaitu tempat tinggal bagi orang yang sudah menikah di keluarga perempuan (pola matrilokal). Implikasi dari semendo ini pada hak waris pada anak
perempuan. Sistem pengetahuan diperoleh masyarakat secara turun temurun. Misalnya, pengetahuan tentang penyembuhan penyakit atau obat-obatan masih dilakukan secara tradisional dengan tanaman obat yang dikenal penduduk. Jika penduduk sakit atau melahirkan, mereka meminta pertolongan ke dukun yang mereka namakan Dotu.
3. Implementasi dan Kendala pengakuan Hukum
a. Implementasi
Eksistensi Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Utara masih mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Daerah. Mereka diberikan hak untuk mengatur pemerintahan adat dan mengelola lembaga adat lengkap dengan struktur organisasi adat. Berbagai bentuk upacara adat masih dipelihara dan memperoleh apresiasi dari Pemerintah Daerah dalam acara pekan seni budaya daerah. Namun demikian pengakuan hukum terhadap hak tradisional Masyarakat hukum adat belum diimpelemntasikan dengan pemberian hak atas tanah (hak ulayat).
b. Kendala
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat.

4. Harapan
Ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar.
C. PROVINSI SUMATERA BARAT
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Wilayah sebagai tempat hidup kesatuan Masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Daerah. Wujud dari besarnya perhatian Pemerintah Daerah ini terbitnya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat. Bai I Pasal 1 dari Perda ini menegaskan pengertian umum, yaitu:
1). Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
2). Tanah Ulayat adalah adalah bidang tanah yang di atas dan di dalamnya terdapat hak ulayat dai suatu masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat.
3). Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah Nagari.
4). Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.
5). Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris.
6). Penyerahan Hak Ulayat adalah suatu kegiatan yang melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah dan saling menguntungkan.
7). Gunggam Bauntuak adalah peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris.
b. Kebudayaan
Peraturan Daerah Tahun 2008 tentang Pemanfaatan Tanah Ulaya mengatur eksistensi organisasi pemerintahan kesatuan masyarakat hokum adat dengan struktur yang ada di dalamnya. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan struktur pemerintahan adat, yaitu :
a). Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Sumatera Barat yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri.
b). Penghulu adalah orang yang dituakan dan didahulukan selangkah oleh kaumnya untuk memimpin kaumnya.
c). Penghulu Suku adalah pemegang sako dan pusako yang diwarisi secara terus menerus menurut sistem kekerabatan matrilineal yang berfungsi sebagai penguasa ulayat menurut ”baris baladeh” dalam satu kesatuan ulayat Nagari.
d). Mamak Kepala Waris adalah laki-laki tertua menurut adat dan atau yang dituakan dalam satu kaum.
e). Hukum Adat adalah aturan/norma tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat hukum adat Minangkabau untuk mengatur kehidupannya, mengikat dan dipertahankan dalam kehidupan masyarakat dengan sanksi yang jelas.
f). Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari atau nama lain adalah Lembaga Permusyawaratan/PemufakatanAdat dan Syarak yang berfungsi memberikan pertimbangan kepada Pemerintah Nagari supaya tetap konsisten menjaga dan memelihara penerapan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah di Nagari.
g). Kerapatan Adat Nagari atau nama lain yang sejenis adalah Lembaga Perwakilan Permusyawaratan dan Pemufakatan Adat tertinggi Nagari yang telah ada dan diwarisi secara turun temurun sepanjang adat di tengah-tengah masyarakat Nagari Sumatera Barat. Kemudian diterbitkannya Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari. Diterbitkannya Keputusan Gubernur ini merupakan komitmen dan konsistensi Pemerintah Daerah dalam memelihara dan melestarikan kelembagaan dan perangkat adat di Provinsi Sumatera Barat.

2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Konsep Nagari adalah konsep pemerintahan desa adat di Sumatera Barat, yang di dalamnya terdiri dari himpunan berbagai suku yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Jadi setiap Nagari sudah memiliki batas-batas wilayah pemerintahan adat yang jelas dan tegas berdasarkan kesepakatan para ketua adat secara turun temurun hingga generasi sekarang.
b. Kebudayaan
Pada umumnya masyarakat Minangkau adalah pemeluk agama Islam yang fanatik. Proses transformasi ajaran Islam berjalan secara turuntemurun melalui tempat-tempat ibadah di kampong kampung yang disebut dengan surau. Jauh sebelum terbitnya Peraturan Daerah tentang Pemanfaatan Tanah Ulayat, secara tidak tertulis sudah ada pengakuan dari pemerintah mengenai lembaga adat, hukum adat dan hak atas tanah ulayat kepada kesatuan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Konsep Nagari, Penghulu, Penghulu Suku, Mamak Kepala Waris, dan Ninik Mamak sudah menjadi ciri khas di dalam kebudayan masyarakat Sumatera Barat yang dikenal luas secara nasional. Sistem kekerabatan yang berlaku menganut pola matrilineal, artinya bahwa silsilah keturunan berdasarkan garis ibu. Sebagai contoh, seorang laki-laki (paman), ia bertanggung jawab untuk membantu anak dari saudara perempuanya sekandung (kemenakan). Hal ini sudah menjadi adat istiadat pada masyarakat di Minangkabau yang berlangsung secara turun temurun, dan akan terus terpelihara melalui kelembagaan adat yang disebut Nagari.
Masyarakat Minangkabau telah mengadaptasi teknologi sesuai jamannya, mulai teknologi sederhana sampai teknologi modern. Adat istiadat Minangkabau memberikan kesempatan kepada warganya agar tidak hanya memanfaatkan, tetapi juga mampu mengembangkan teknologi untuk meningkatkan taraf kehidupannya ke arah yang lebih baik. Masyarakat hukum adat memperoleh pengetahuan secara turun temurun dari para leluhurnya. Biasanya pengetahuan yang dipelajari berkaitan dengan pola hidup dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat hukum adat yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan di laut, maka pengetahuan lokal masyarakat lebih banyak berhubungan dengan pengetahuan akan kondisi cuaca dan iklim, astronomi, teknik penangkapan dan pengolahan ikan serta jenis dan habitat ikan. Mereka mampu mengenal kalender musin dengan baik, meskipun demikian tidak semua aktivitas mereka bergantung pada kalender. Masyarakat mengenal musim Gabua, Ambu-ambu dan Udang karena pada musim-musin tersebut didominasi jenis ikan-ikan tersebut. Selain itu mengenal juga musim Anggau/ombak gadang ombak besar atau musim kemarau untuk menjelaskan kondisi hasil tangkapan ikan tidak ada sama sekali. Kemudian dikenal musim Payang atau Pukek untuk menjelaskan kondisi dimana hasil tangkapan ikan melimpah. Adanya peruntukan tanah yang diperoleh anggota kaum untuk memakai dan menikmati hasil atas bagian tanah ulayat dalam pengawasan Mamak Kepala Waris, yang dikenal dengan Gunggam Bauntuak. Hal ini sebagai bentuk kerukunan dan kebersamaan untuk menghilangkan kesenjangan sosial antara warga dalam satu kaum maupun dalam satu Nagari. Sistem penguasaan tanah secara kolektif pada tanah ulayat, akan membangun sistem ekonomi kerakyatan yang seadil-adilnya.

3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupen seProvinsi Sumatera Barat sampai saat ini memberikan pengakuan yang masih cukup besar. Wujud besarnya pengakuan dari Pemerintah Daerah ini dengan terbitkan Keputusan Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Nagari.

b. Kendala
Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah.
4. Harapan
Harapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah :
1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan local tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.
D. PROVINSI BALI
1. Hukum Tertulis
a. Kewilayahan
Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan Desa Pak raman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.
b. Kebudayaan
Kehidupan beragama/kepercayaan diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman.di dalam Bab V Pasal 1. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu. Semua aspek aktivitas perilaku berpola yang telah membudaya dalam interaksi manusia dalam suatu masyarakat yang diperankan melalui nilai, norma, serta wadah struktur keorganisasian yang dibentuk, merupakan sistem organisasi sosial. Berkenaan dengan sistem organisasi sosial diatur di dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman Bab VII Pasal 1. Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur menggunaan/pengembangan teknologi belum ada. Meskipun demikian pemerintah daerah terus mendorong seluruh masyarakat untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang akan memberikan manfaat bagi kehidupan yang lebih baik. Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman yang mengatur pengetahuan/pendidikan terdapat pada Bab IV Pasal 4.
Selain itu melalui kebijakan dan program dinas pendidikan, pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada putra-putra daerah termasuk dari masyarakat hokum adat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Program-program bantuan pendidikan pun, diluncurkan oleh Pemerintah Daerah, yang menjangkau seluruh anak-anak yang sedang menempuh pendidikan. Berkenaan dengan aspek ekonomi, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya antara lain mengatur fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu di dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. Selanjutnya, Peraturan Daerah (Perda) tentang Desa Pakraman di dalamnya mengatur dengan jelas, bahwa salah satu fungsi desa adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka/ musyawrah untuk mufakat.
2. Hukum Tidak Tertulis
a. Kewilayahan
Desa adat dibatasi oleh wilayah tertentu, dimana menurut hukum adat disebut ”Prabumian Desa” atau Wewengkon Bale Agung” . Wilayah desa adat ini sepenuhnya dapat diatur dan diurus oleh perangkat pimpinan desa adat berdasarkan hak pengurusan wilayah yang lebih dikenal dengan sebutan hak ulayat desa adat.
b. Kebudayaan
Agama Hindu menempati posisi ”superstruktur” bersama dengan nilainilai, cita-cita dan simbol ekspresif lainnya. Kemudian desa adat (Pakraman) sebagai lembaga berkedudukan sebagai ”dasar” bersama norma dan organisasi lainnya. Agama Hindu merupakan payung bagi norma hokum adat (awig-awig) dan organisasi sosial desa adat. Dengan demikian ajaran Hindu akan terwujud dalam norma-norma adat kehidupan Krama Desa Adat. Desa Adat (Pakraman) sebagai lembaga sosial keagamaan yang bertindak sebagai wadah dan sekaligus pengawas pelaksanaan kegiatan agama di tingkat desa. Desa Pakraman sejak awal telah ditata untuk menjadi desa religius, dibentuk berdasarkan konsep-konsep dan nilai-nilai filosofis Agama Hindu.
Oleh karena itu, pengurus Desa Pakraman bukan Kepala Desa, melainkan Ketua (Kubayan, Bayan, Kelihan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha), yang bermakna guru spiritual lokal di desa. Desa Pakraman terus mengadakan penyesuaian sesuai dengan asas Desa Mawa Cara. Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri atau mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan. Desa Pakraman memiliki banjar sebagai pembagian wilayah kerja yang sudah sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Bali. Desa ini
punya tugas dan kewajiban mengurus pura (kahyangan) desa. Berbeda dengan desa-desa pada umumnya, sesungguhnya Desa Pakraman ini ”pasraman” tempat melakukan penempaan diri di bidang pengamalan dharma, untuk mendapatkan Catur Purusa Artha. Kemudian konsep dan nilai dasar dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah ’tat twam asli’ dimana konsep ini melahirkan nilainilai ; kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung sabayantaka), keselaran (sagilik saguluk, briuk sapanggul), dan kepatutan (paras-paros, ngawe sukaning wong len). Awig-awig adalah aturan hukum yang mengatur hubungan sosial antar warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Apabila ada warga masyarakat yang dinilai melanggara awig-awig tersebut, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan aturan adat yang berlaku.

Sebagai masyarakat terbuka, masyarakat hukum adat di Bali leluasa untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Meskipun demikian, pemanfaatan dan pengembangan teknologi tersebut tetap harus memperhatikan aturan adat dan ajaran
Hindu. Masyarakat hukum adat leluasa dalam berpartisipasi dalam pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai daerah tujuan wisata internasional, setiap warga diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mempelajari berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan bahasa asing, pemandu wisata, souvenir dan seluk beluk kepariwisataan. Fungsi desa adat untuk membantu pemerintah menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Tentu saja pemanfaatan kekayaan desa adat tidak keluar dari rambu-rambu yang telah diatur di dalam aturan adat, dan dimanfaatkan untuk mewujudkan kesejahtyeraan bersama. Ciri Bali yang istimewa adalah agama, adat dan budaya yang menyatu dan ini telah menjadi jati diri masyarakat Bali. Oleh karena itu, kesenian sebagai salah satu bentuk kongkrit dari kebudayaan sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali. Berbagai bentuk kesenian tradisional, baik tari, musik (tabuh), pahat, anyaman dan nyanyian tradisional (kidung) dikembangkan oleh masyarakat melalui padepokan (sanggar seni) secara turun temurun.
3. Implementasi dan Kendala Pengakuan Hukum
a. Implementasi
Masyarakat hukum adat yang tinggal di Desa Pakraman sangat diakui oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Secara yuridis sudah ada pengakuan Pemerintah Daerah terhadap lembaga adat (Kedamanangan), tanah adat, hak adat, hukum adat, adat istiadat dan Kepala Desa Adat.
b. Kendala
Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.
4. Harapan
a. Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan, kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.

C. KESIMPULAN
Ø  Menurut Prof. Dr. Soepomo, SH hukum adat sebagai hokum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislative (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun yidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hokum.
Ø  Para pengamat hukum adat dari kalangan pengetahuan hukum di Barat,melihat hukum adat bersifat konkret, supel dan dinamis.
Ø  Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan secara sungguh-sungguh bilamana tentang ajaran-ajaran Hukum adat yang menjadi jiwanya. Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari pepatah-pepatah, kata-kata berkias yang mendalam serta yang hikayat atau riwayat-riwayat yang hidup dan diceritakan dari mulut kemulut sepanjanng generasi yang terus berganti-ganti. Selain itu juga dapat diperiksa praktek ajaran itu yang dituangkan kedalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan prinsip-prinsip hhukum adat dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.
D.   KRITIK DAN SARAN
1.     NAD
Karena Belum tersedianya Peraturan Daerah yang secara khusus dan tegas mengatur eksistensi kelembagaan adat dengan segala hak-haknya. Maka, diharapkan Tersedianya Peraturan Daerah (Perda) yang secara khusus dan tegas mengatur kelembagaan Masyarakat hukum adat dengan segala hak-haknya, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam penguasaan tanah ulayat.
2.     Sumatera Utara
Belum ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarakat hukum adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Maka, perlu ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kehidupan Masyarkat Adat, termasuk mengatur tentang hak ulayat. Dengan adanya aturan yuridis ini, maka hak-hak Masyarakat hukum adat akan dilindungi dari kepentingan pihak-pihak luar.
3.     Sumatera Barat
Belum semua yang berkaitan dengan kelembagaan adat dan hak-hak Masyarakat hukum adat diatur oleh Pemerintah Daerah. Sehingga diharapan atas pengakun hukum terhadap Masyarakat hukum adat dan hak-hak mereka adalah :
1. Perlu lebih dioptimalkan implementasikan hukum adat, dan kearifan local tetap dijunjung tinggi dan dihargai oleh Pemerintah Daerah.
2. Partisipasi masyarakat perlu diperkuat lagi, sehingga lebih peduli terhadap pembangunan yang berbasis adat dan kearifan lokal.



4. Bali
 Sejauh ini tidak ada kendala yang dirasakan dalam implementasi hukum adat, karena agama, adat dan budaya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat secara turun temurun, dan terus dilembagakan dengan baik oleh pemerintah maupun lembaga adat.
Maka perlu:
a. Pembinaan desa adat dan adat istiadat Bali ke arah keberdayaan, kelestarian dan perkembangan dalam upaya meningkatkan peranan dan fungsi desa adat dan adat istiadatnya. Melalui pembinaan ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang Trepti (tertib, tertata/teratur, sesuai tatanan masyarakat), Kerta (damai, tenteram, aman, harmonis), dan Jagadhita (sejahteralahir batin, adil, dan makmur).
b. Pembinaan dan mengefektifkan berfungsinya lembaga peradilan desa yang kongkrit de facto dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat. Masalah yang berhubungan dengan adat dan agama akan efektif apabila ditangani oleh Prajuru sebagai hakim desa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar