Selasa, 18 Januari 2011

konsumen

BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, perhatian terhadap perlindungan konsumen semakin meningkat. Dorongan kemajuan teknologi dan informatika yang telah memperluas transaksi barang dan jasa yang ditawarkan tersebut bervariasi baik produk dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini tentu saja bermanfaat bagi konsumen karena kebutuhannya dapat dipenuhi dengan jumlah dan jenis barang yang bervariasi. Namun,   dapat pula mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dalam hal ini konsumen berada pada posisi  yang lemah. Suatu kenyataan bahwa, pola konsumsi masyarakat Indonesia saat ini justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha, dan bukan oleh konsumen sendiri. Melalui kekuatan promosi, pelaku usaha mampu menciptakan pemahaman kepada konsumen akan kehebatan suatu produk, bahkan menjadikan konsumen sangat bergantung pada produk tersebut. Ini dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat pada produk air minum, kosmetika, makanan/ minuman sehat, dan sebagainya.
Salah satu hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat ialah memperoleh perlindungan dalam kedudukannya sebagai konsumen. Hal ini sangat wajar mengingat kedudukan tersebut terjadi akibat dari adanya interaksi pihak lain, yang antara lain di antara para pihak  secara prinsip mempunyai kepentingan berbeda. Dalam hal ini, pihak konsumen berkepentingan untuk memperoleh manfaat yang sebaik mungkin atas barang dan jasa yang dikonsumsinya, sedangkan produsen barang maupun pemberi jasa atau pelaku usaha berkepentingan untuk memperoleh keuntungan dari produk atau jasa yang dijualnya.
Berdasarkan perbedaan dasar kepentingan antara konsumen dan pelaku usaha maka kemungkinan timbulnya persoalan akibat adanya benturan kepentingan menjadi terbuka. Sudah banyak contoh kasus yang merugikan konsumen terjadi di Indonesia. Selanjutnya, menurut pemantauan dan pengamatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), nasib konsumen Indonesia memang sangat memperihatinkan. Oleh karena itu harus diperjuangkan. Pada tahun 1996, selama satu tahun ada beberapa permasalahan konsumen yang pantas dikedepankan karena berdampak luas bagi konsumen Kejadian-kejadian atau kasus-kasus konsumen tersebut  mengesankan bahwa posisi konsumen Indonesia lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen ialah rendahnya tingkat kesadaran konsumen tentang hak-haknya. Hak konsumen secara internasional telah diakui melalui The International Organization of Consumer’ s Union.
Dalam upaya pemberdayaan konsumen Indonesia, pada tanggal 20 April 1999 telah diundangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini mulai berlaku setelah satu (1) tahun sejak diundangkannya (Pasal 65). Dengan demikian, Undang-undang ini sudah mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-undang yang melindungi konsumen ini tidak bermaksud untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat sehingga melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan usaha yang sehat  melalui penyediaan barang yang berkualitas (lihat penjelasan umum Undang-undang No 8 Tahun 1999). Perlindungan Konsumen ialah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberi perlindungan kepada konsumen (lihat Pasal 1 angka 1).
B.Permasalahan
a.       Hak Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
b.      Tujuan Perlindungan Konsumen
c.       Hak Konsumen
d.      Azas Perlindungan Konsumen
e.       Menegakkan Hak Konsumen Sesuai Harapan dan Kenyataan





BAB II
PEMBAHASAN
A.Hak Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:[1]
1.      Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
2.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Pembangunan dan perkembangan perekonomian dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai fariasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi.ditambah dengan globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi kiranya memperluas rungang gerak arus transaksi barang dan/ atau jasa. Akibatnya barang dan atau jasa yang ditawarkan berfariasi baik produk luar negri maupun produk dalam negri.kondisi seperti ini disatu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen  karena kebutuhan atas barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta makin terbuka lebar ,karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.tetapi disisi lain,dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah,yang meenjadi objek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan  yang sebesar besarnya oleh pelaku usaha  melalui berbagai promosi,cara penjualan,serta penerapan perjanjian baku yang merugikan konsumen.
B.Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah:
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha.
6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
C.Hak Konsumen
Hak konsumen adalah:[2]
a)      Hak atas kenyamanan,keamanan ,dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa
b)      Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c)      Hak atas informasi yang benar, jelas,dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa
d)     Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan 
e)      Hak untuk mendapat avodkasi,perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f)       Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g)      Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h)      Hak untuk mendapatkan kompensasi,ganti rugi dan atau pergantian,apa bila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagai mana mestinya
i)        Hak – hak yang diatur dalam ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya

Penjelasan
huruf G
      “hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku,agama,budaya,daerah,pendidikan,kaya,miskin, dan status sosial lainnya.”
      Untuk hak-hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UUPK lebis luas dari pada hak-hak dasar konsumen sebagai mana pertama kali dikemukakan oleh presiden amaerika serikat J.F Kennedy didepan kongres pada tanggal 15 maret 1962, yaitu terdiri atas :
a)      Hak untuk memperoleh keamanan
b)      Hak memilih
c)      Hak mendapat informasi
d)     Hak untuk didengar
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari deklarasi hak asasi manusia yang yang dicanangkan oleh PBB pada tanggal 10 desember 1948, masing-masing pada pasal 3,8,19,21,dan pasal 26, yang oleh organisasi konsumen sedunia ditambah empat hak dasar konsumen lainnya,yaitu:
a)      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
b)      Hak untuk memperoleh ganti rugi
c)      Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
d)     Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang berdih dan sehat
Disamping itu, masyarakat eropa juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut:
a)      Hak perlingungan kesehatan dan keamanan
b)      Hak perlindungan kepentingan ekonomi
c)      Hak mendapat ganti rugi
d)     Hak atas penerangan
e)      Hak untuk didengar
Sedangkan dalam rangcangan akademik undang-undang tentang perllindungan konsumen yang dikeluarkan oleh fakultas hokum unuversitas Indonesia dan departemen perdagangan dikemukakan enam macam hak konsumen, yaitu empat hak dasar yang disebutkan pertama, ditambah dengan hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, dan hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum yang patut.
            Memperhatikan hak-hak yang disebutkan diatas,maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen,yaiyu sebagai berikut:
a)      Hak atas keamanan dan keselamatan
b)      Hak untuk memperoleh informasi
c)      Hak untuk memilih
d)     Hak untuk didengar
e)      Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup
f)       Hak untuk memperoleh ganti rugi
g)      Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen
h)      Hak memperoleh perlindungan hokum yang bersih dan sehat
i)        Hak untuk mendapat barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan
j)        Hak untuk mendapat penyelesaian hokum yang patut
D.Azas Perlindungan Konsumen
  1. Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
  2. Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
  3. Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
  4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;
  5. Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
E.Menegakkan Hak Konsumen Sesuai Harapan dan Kenyataan
Dari uraian tersebut maka dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dapat meliputi berbagai aspek dan dapat dilakukan dengan berbagai instrumen, yaitu instrumen hukum perdata atau secara lebih khusus disebut dengan istilah hukum bisnis, instrumen hukum pidana dan juga instrumen hukum administrasi.[3]
Hukum hidup, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sebagai sarana menciptakan ketentraman dan ketertiban bagi kedamaian dalam hidup sesama warga masyarakat. Hukum akan tumbuh dan berkembang bila masyarakat menyadari makna kehidupan hukum dalam kehidupannya. Sedangkan tujuan hukum sendiri ialah untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Hukum juga  dituntut untuk memenuhi nilai-nilai dasar hukum yang meliputi keadilan, kerugian/ kemanfaatan dan kepastian hukum. Hukum yang mengatur perlindungan konsumen (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) tentu saja di tuntut pula untuk memenuhi nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, walaupun kadang-kadang bila salah satu nilai tersebut tercapai nilai yang lain menjadi terabaikan.
Keefektivan hukum  bila di kaitkan dengan badan-badan penegak hukumnya, maka menurut G.G Howard dan R.S Summers ada  faktor yang mempengaruhinya:
a.       Undang-undangnya harus dicanangkan dengan baik. Kaidah-kaidah yang bekerja mematuhi tingkah laku itu harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami denganpenuh kepastian;
b.       Mereka yang bekerja sebagai pelaksana hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan harus menafsirkan peraturan tersebut secara seragam dan sedapat mungkin senafas dengan bunyi penafsiran yang mungkin dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena;
c.       Aparat penegak hukum harus bekerja tanpa jenuh untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar.
Berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan peraturan-peraturan lain yang ketentuannya mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan hak konsumen untuk memperoleh perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan struktur hukum yang berupa lembaga-lembaga penegak hukum sebagai sarana bagi pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan sistem hukum dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.
Keterlibatan negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya atau berjalannya suatu sistem hukum karena ddalam suatu sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman sebagaimana ditulis oleh Soerjono Soekanto meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultural hukum, a legal system is actual operation is complex organism in which sructure, substance and culturale interaction.
Dalam kaitannya fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering) agar hukum (termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999) harus bisa menentukan corak hidup masyarakat, yang dalam hal ini corak hidup masyarakat (selaku konsumen maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang mudah, sebab banyak faktor yang mempengaruhinya, di samping bahwa dalam setiap individu  akan tergantung pada pilihan-pilihan individu secara rasional untuk taat atau tidak taat kepada ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No  8 Tahun 1999). Individu  akan selalu memiih aktifitas yang menguntungkan baginya dan menghindari yang paling merugikan baginya di dalam area of choice menuntut tingkat rasional (yang paling baik). Perilaku rasional ini paling tidak berorientasi pada perilaku kebiasaan, nilai-nilai etik dan kebutuhan-kebutuhan individu.
Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka dapat dipakai pula pendekatan dengan mengambil teori Robert Seidman (1972), yaitu bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat itu melibatkan tiga komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.
Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran. Setiap anggota masyarakat (para konsumen dan pelaku usaha) sebagaimana pemegang peran, perilakunya ditentukan oleh pola peranan yang diharapkan darinya, namun bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya.
Faktor-faktor tersebut adalah:
a.       Sanksi yang terdapat dalam peraturan;
b.       Aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum;
c.       Seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya yang bekerja atas diri pemegang peran.
Perilaku konsumen dan  pelaku usaha tentu saja juga tidak lepas dari tingkat pengetahuan, sikapnya terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, sehingga kemudian menimbulkan niat untuk berperilaku. Fishbein dan Ajzen mengenalkan model   hubungan antara pengetahuan, sikap, niat dan perilaku
Menurut Hobbs dan Freud, bahwa pada dasarnya perilaku individu manusia adalah egoistis dan karenanya cenderung memuaskan kepentingannya sendiri. Akibat dari sifat manusia yang cenderung ingin memuaskan kepentingannya sendiri itu, maka sering menimbulkan benturan-benturan dengan fihak lain yang apabila hal ini dibiarkan terus berlangsung akan menciptakan penyimpangan sosial (deviasi sosial). Dalam hal ini peranan hukum sebagai upaya pembentukan perilaku sosial dalam diri seseorang untuk mampu berbagi kepentingan dengan orang lain diperlukan.
Ketaatan yang rendah terhadap hukum juga dimungkinkan karena warga masyarakat konsumen kurang memahami norma-noma tersebut, sehingga mereka sama sekali tidak mengetahui akan manfaaatnya untuk mematuhi akidah tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Gastra Van Loon, bahwa efektifnya suatu perundang-undangan secara sederhana berarti tujuannya tercapai. Hal ini sangat tergantung berbagai faktor, antara lain tingkat pengetahuan tersebut dan pelembagaan dari Undang-undang pada bagian-bagian masyarakat sesuai dengan ruang lingkup undang-undanng tadi.














BAB III
KESIMPULAN
            Implementasi UU No. 8 Tahun 1999, khususnya mengenai pelaksanaan hak-hak dan kewajiban konsumen barang belum  dapat terealisasi secara keseluruhan, utamanya berkaitan dengan  perilaku untuk memperjuangkan hak seperti hak advokasi, memperoleh ganti rugi.  Hambatan-hambatan implementasi tersebut berhubungan dengan faktor-faktor  tidak diketahuinya hak-dan kewajiban konsusmen tersebut secara terperinci. Faktor lainnya menyangkut  kesiapan dari kinerja intansi/lembaga-lembaga terkait. Juga, sosialisasi masalah perlindungan konsumen yang  masih kurang sebagai gerakan kemasyarakatan dalam rangka pemberdayaan konsumen.
                    Dari penelitian ini dapat diajukan rekomendasi  adanya gerakan sosial mengenai pemberdayaan konsumen sehingga penting juga  penggalakkan kegiatan-kegiatan sosialisasi. Peningkatan kerjasama berbagai pihak mengenai perlindungan konsumen, seperti lembaga-lembaga pemerintah, organisasi kemasyarakatan mengenai konsumen,  asosiasi pelaku usaha, dan perguruan tinggi.  Lembaga-lembaga tersebut (terutama pemerintah) segera diwujudkan adanya  kelengkapan keorganisasiannya yang bersangkutan dengan perlindungan konsumen. Penelitian mengenai konsumen perlu ditindak-lanjuti  menyangkut penegakan hukumnya ataupun kinerja kelembagaan-birokrasi pemerintah sehubungan dengan pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen, dan juga penelitian  sektor berkaitan dengan konsusmen yang lebih spesifik, misalnya  perlindungan konsumen  mengenai obat-obatan, atau makanan, atau perumahan, dsb.
           





DAFTAR PUSTAKA
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta 2003
Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H.,M.Hum. Hukum Perlindungan Konsumen. Malang, Sinar Grafika,2008.

www.google.com menegakkan hak konsumen sesuai harapan dan kenyataan



[1] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,PT Gramedia Pustaka Utama,Jakarta 2003
[2] Celina Tri Siwi Kristiyanti, S.H.,M.Hum. Hukum Perlindungan Konsumen. Malang, Sinar Grafika,2008. Hal: 31
[3] www.google.com menegakkan hak konsumen sesuai harapan dan kenyataan

amdal

BAB I
Latar Belakang

AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.

Dokumen AMDAL terdiri dari :
*      Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
*      Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
*      Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
*      Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)

Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak.

Rumusan Masalah

1. Siapa yang harus menyusun AMDAL

2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam proses AMDAL

3.bagai mana prosedur penyusunan AMDAL

Tujuan Penulisan
Tujuan AMDAL
 AMDAL merupakan alat pengelolaan
lingkungan hidup untuk:
• Menghindari dampak
Apakah proyek dibutuhkan?
Apakah proyek harus dilaksanakan saat ini?
Apakah ada alternatif lokasi?
• Meminimalisasi dampak
Mengurangi skala, besaran, ukuran
Apakah ada okumative untuk proses, desain,
bahan baku, bahan okum?
• Melakukan mitigasi/kompensasi dampak
Memberikan kompensasi atau ganti rugi terhadap
lingkungan yang rusak
Manfaat dari penulisan
Sebagai “environmental safe guard
Pengembangan wilayah
Sebagai pedoman pengelolaan
lingkungan
Pemenuhan prasyarat utang (loan)
Rekomendasi dalam proses perijinan
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
AMDAL merupakan singkatan dari Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan.
Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan.
  Yang harus menyusun AMDAL
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
Pihak yang terlibat dalam proses AMDAL
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
Komisi Penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota. Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pemrakarsa adalah orang atau badan okum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan

 Prosedur-prosedur AMDAL
            Prosedur AMDAL terdiri dari :
ü  Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
ü  Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
ü  Penyusunan dan penilaian KA-ANDAL (scoping)
ü  Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.

Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut, menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) adalah upaya yang dilakukan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau kegiatan yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan.
Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi kegiatan yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan dampak kegiatan mudah dikelola dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk menerbitkan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dilakukan seperti AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
v  Identitas pemrakarsa
v  Rencana Usaha dan/atau kegiatan
v  Dampak Lingkungan yang akan terjadi
v  Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
v  Tanda tangan dan cap

Formulir Isian diajukan pemrakarsa kegiatan kepada :
*      Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
*      Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
*      Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara
AMDAL-UKL/UPL

Rencana kegiatan yang sudah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi kegiatan yang telah diketahui teknologi dalam pengelolaan limbahnya.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib

Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka kegiatan tersebut tidak bisa dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini kegiatan tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan.
            Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana kewajiban yang satu secara otomatis menghapuskan kewajiban lainnya kecuali terdapat kondisi-kondisi khusus yang aturan dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kegiatan dan/atau usaha yang sudah berjalan yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak membutuhkan AMDAL baru.

AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela

Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya menghendaki untuk meningkatkan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup dapat melakukan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 tentang Panduan umum pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa karena sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus dapat “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL.

B.Macam –Macam AMDAL
Apabila dilihat dari peraturan dan berbagai keputusan administratif
mengenai keamdalan,maka system amdal dapat digolongkan menjadi beberapa jenis.
Jenis-jenis amdal tersebut digolongkan sebagai berikut:
1.amdal secara tunggal
2.amdal secara sektoral
3.amdal terpadu atau multi sektor
4.amdal regional atau disebut juga amdal kegiatan kawasan

5.amdal kegiatan kajian sosial

 

C. Fungsi AMDAL


Pada waktu yang lampau, kebutuhan manusia akan sumber alam belum begitu besar karena jumlah manusianya sendiri masih relatif sedikit, di samping itu intensitas kegiatannya juga tidak besar. Pada saat-saat itu perubahan-perubahan pada lingkungan oleh aktifitas manusia masih dalam kemampuan alam untuk memulihkan diri secara alami. Tetapi aktifitas manusia makin lama makin besar sehingga menimbulkan perubahan lingkungan yang besar pula. Pada saat inilah manusia perlu berfikir apakah perubahan yang terjadi pada lingkungan itu tidak akan merugikan manusia. Manusia perlu memperkirakan apa yang akan terjadi akibat adanya kegiatan oleh manusia itu sendiri.
AMDAL (Analisis Mengenai Danpak Lingkungan) merupakan alat untuk merencanakan tindakan preventif terhadap kerusakan lingkungan yang mungkin akan ditimbulkan oleh suatu aktifitas pembangunan yang direncanakan.
Undang-undang No. 4 Tahun 1982 Pasal 1 menyatakan : “Analisis mengenai dampak lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pngambilan keputusan”.
AMDAL harus dilakukan untuk proyek yang diperkirakan akan menimbulkan dampak penting, karena ini memang yang dikehendaki baik oleh Peraturan Pemerintah maupun oleh Undang-undang, dengan tujuan agar kualitas lingkungan tidak rusak karena adanya proyek-proyek pembangunan. Oleh karena itu pemilik proyek atau pemrakarsa akan melanggar perundangan bila tidak menyusun AMDAL, semua perizinan akan sulit didapat dan di samping itu pemilik proyek dapat dituntut dimuka pengadilan. Keharusan membuat AMDAL merupakan cara yang efektif untuk memaksa para pemilik proyek memperhatikan kualitas lingkungan, tidak hanya memikirkan keuntungan proyek sebesar mungkin tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang timbul. Dampak dari suatu kegiatan, baik dampak negatif maupun dampak positif harus sudah diperkirakan sebelum kegiatan itu dimulai. Dengan adanya AMDAL, pengambil keputusan akan lebih luas wawasannya di dalam melaksanakan tugasnya. Karena di dalam suatu rencana kegiatan, banyak sekali hal-hal yang akan dikerjakan, maka AMDAL harus dapat membatasi diri, hanya mempelajari hal-hal yang penting bagi proses pengambilan keputusan.
AMDAL ini sangat penting bagi negara berkembang khususnya Indonesia, karena Indonesia sedang giat melakasanakan pembangunan, dan untuk melaksanakan pembangunan maka lingkungan hidup banyak berubah, dengan adanya AMDAL maka perubahan tersebut dapat diperkirakan. Dampak kegiatan terhadap lingkungan hidup dapat berupa dampak positif maupun dampak negatif, hampir tidak mungkin bahwa dalam suatu kegiatan / pembangunan tidak ada dampak negatifnya. Dampak negatif yang kemungkinan  timbul harus sudah diketahui sebelumnya (dengan MDAL), di samping itu AMDAL juga membahas cara-cara untuk menanggulangi / mengurangi dampak negatif. Agar supaya jumlah masyarakat yang dapat ikut merasakan hasil pembangunan meningkat, maka dampak positif perlu dikembangkan di dalam AMDAL.

Dasar Hukum


Undang-undang No. 4 tahun 1982 Pasal 16 berbunyi :
 “Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah”.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud telah ada yaitu Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 Tentang Analisis mengenai Dampak Lingkungan, dirasa kurang memadai, sehingga dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Penjelasan dari Pasal 16 ini adalah sebagai berikut : “Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup, baik fisik, non fisik, maupun sosial budaya dan  kesehatan masyarakat dengan menyusun AMDAL. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih terinci dampak negatif dan dampak positif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya”.
D.Dampak –Dampak AMDAL
Beberapa Contoh Dampak Penting
Perubahan Bentang alam
Eksploitasi SDA
Perubahan tata guna lahan
Reklamasi Pantai perubahan dari laut menjadi daratan
Kawasan konservasi Ladia Galaska, Izin penambangan thd 13 perusahaan
Konversi lahan pertanian Industri atau perumahan
           


BAB III
KESIMPULAN
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).


SARAN
pemerintah hendaknya bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang terjadi dalam dekade sekarang ini,dan tidak hanya pemerintah saja yang ikut bertanggunga jawab tetapi seluruh komponen masyarakat yang terlibat.















Daftar pustaka
Sudijanto,Ary.22 Agustus 2007.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup:Bogor